Ini Arahnya Kemana?

 Kudus, 31 Agustus 2025


Quarter Life Crisis: Saat Hidup Terasa Tak Punya Arah

Lima tahun lalu, pikiranku hanya dipenuhi pertanyaan sederhana tapi berat: mau kuliah atau kerja? Di usia remaja, keputusan besar itu harus kupikirkan sendiri, tanpa banyak pegangan, tanpa ada yang benar-benar menuntun. Pada akhirnya aku memutuskan kuliah.

Tapi perjalananku menuju kuliah pun tidak mudah. Aku sempat ditolak belasan universitas. Berkali-kali rasanya ingin menyerah, karena setiap penolakan itu seperti tamparan yang bilang aku nggak cukup layak. Sampai akhirnya aku diterima di Universitas Airlangga, dengan beasiswa. Itu bukan hal kecil bagiku, karena di balik semua penolakan dan perjuangan, aku masih bisa berdiri di sana, menapaki bangku kuliah yang dulu hanya bisa kupikirkan dalam doa.

Ya, doa. Meski pada kenyataannya, doa-doa itu sering terasa hampa. Karena bahkan sekarang, aku merasa doa pun tak pernah benar-benar didengar.

Selama dua tahun terakhir, aku juga berjuang melawan depresi berat. Berobat ke psikiater, menelan obat-obatan, dan mencoba bertahan ketika kepalaku sendiri terasa seperti musuh yang ingin menenggelamkanku. Aku masih di fase itu dan berjuang, meski lelah.

Kini aku sudah lulus kuliah. Harusnya itu jadi kabar bahagia. Tapi justru sekarang aku masuk ke fase paling membingungkan: quarter life crisis. Aku benar-benar clueless, bingung ke mana harus melangkah. Seperti perintis tanpa peta, tanpa arah.

Keluargaku juga lagi dalam keadaan yang makin sulit. Utang di mana-mana. Ada tuntutan yang tak pernah terucap tapi selalu terasa: aku harus sukses. Aku harus bisa membalas semua perjuangan. Padahal kenyataannya, aku tidak punya modal, tidak punya dukungan finansial, tidak punya koneksi. Rasanya aku harus menanggung beban besar, tapi kakiku rapuh dan jalanku gelap.

Dan di tengah semua itu, imanku pun goyah. Aku masuk ke fase marah. Aku sering “menggoblok-goblokin” Tuhan. Seringkali aku menyalahkan Dia karena sudah kasih jalan hidup yang rasanya sesusah ini. Aku tahu buat banyak orang ini salah, bahkan dosa. Tapi aku nggak bisa pura-pura. Aku benar-benar marah. Aku merasa doa-doaku tak pernah didengar. Aku merasa dibiarkan jatuh, dibiarkan sendiri. Sampai akhirnya aku menyebut diriku agnostik. Karena aku nggak tahu lagi, apakah ada jawaban di balik semua ini, atau tidak sama sekali.

Sekarang aku hanya bisa jujur: aku lagi di titik paling rapuh, paling bingung, paling tidak tahu arah.

Tapi aku masih di sini. Masih bernapas, masih mencoba. Dan itu sudah cukup untuk hari ini.

Aku tahu perjalanan ini belum selesai. Beberapa tahun lagi, aku ingin kembali membuka blog ini. Aku ingin menuliskan kelanjutan hidupku, entah seperti apa bentuknya. Apakah aku akan bercerita tentang keberhasilan yang akhirnya kucapai, atau tentang luka-luka baru yang harus kuhadapi, aku belum tahu.

Tapi aku berharap suatu hari ada versi diriku di masa depan yang bisa berkata:
“Aku berhasil melewati masa sulit ini. Aku masih di sini, dan aku terus berjalan.”

Untuk sekarang, biarlah tulisan ini jadi saksi. Bahwa di usiaku yang hampir seperempat abad ini, aku pernah bingung, hancur, dan mempertanyakan segalanya. Semoga suatu saat nanti, aku bisa kembali dengan cerita yang berbeda. Tentang aku yang lebih kuat, tentang aku yang akhirnya menemukan arah.


Sincerely,

Febria Adhani

Comments

Popular Posts